Langsung ke konten utama

"HEPATIRANGGA" TRADISI TAHUNAN MASYARAKAT WAKATOBI DALAM MENYAMBUT MALAM LAILATUL QODR

Pictuere by : Sarfina Jama Rawao
"HEPATIRANGGA"


   Menjelang berakhirnya bulan ramadhan masyarakat akan disibukkan dengan beragam aktivitas guna menyambut datangnya hari kemenangan. Setelah kaum muslimin menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh, mereka lalu dianggap telah memenangkan "peperangan", yaitu peperangan melawan hawa nafsu. Selama berpuasa, nafsu terhadap makanan, minuman, dan pemenuhan kebutuhan biologis dikontrol, agar manusia tidak melampaui batas dalam memenuhi ketiga kebutuhan pokok tersebut. Ketika kita mampu mengendalikan nafsu selama berpuasa, maka kita berarti telah memenangkan peperangan. Hari kemenangan tersebut adalah Hari Raya Idul Fitri. Idul fitri berarti kembali menjadi suci, atau kembali ke fitrah. Pada hari itu, kaum muslimin dianggap bebas dari segala dosa dan diibaratkan seperti kertas putih yang tidak memiliki noda. Dikalangan kaum muslimin, hari raya Idul Fitri lebih familiar di istilahkan dengan Lebaran.

Banyak ragam ekspresi kaum muslimin dalam menyambut datangnya lebaran. Membuat kue, membeli baju baru, membeli petasan dan kembang api, mengecat rumah, adalah beberapa aktivitas menjelang datangnya lebaran. Masyarakat Wakatobi mempunyai tradisi menarik dalam menyambut datangnya lebaran, yaitu Hepatirangga .
       Secara etimologi, Hepatirangga terdiri dari dua suku kata, yaitu He berarti memakai, dan Patirangga yaitu istilah lokal tumbuhan Pacar Kuku. Hepatirangga berarti aktivitas mewarnai kuku (tangan dan kaki) dengan menggunakan daun Pacar kuku sebagai bahan baku utamanya. Caranya adalah; daun pacar kuku ditumbuk atau dikunyah sampai halus, lalu daun pacar yang telah halus disimpankan diatas kuku sesuai porsinya, kemudian dibungkus dengan daun-daunan (mirip dengan daun jati, tapi posturnya lebih lunak). Biasanya, kualitas warna kuku yang diberikan daun pacar sangat ditentukan oleh tingkat kehalusan daun pacar kuku ketika dikunyah atau ditumbuk.

Daun pacar yang ditumbuk halus


 Sewaktu kecil, siapa yang mempunyai kuku dengan kualitas warna merah tua yang bagus pasti akan sangat bangga. Sehingga tidak jarang, nenek pemakan sirih diminta jasanya untuk mengunyahkan daun pacar kuku guna mendapat hasil terbaik. Pada saat itu ada keyakinan bahwa kualitas warna yang dihasilkan oleh daun pacar kuku yang dikunyah oleh nenek pemakan sirih adalah “the best”.
Tradisi Hepatirangga dilakukan pada malam ke-27 ramadhan, biasanya sampai tiga malam berturut-turut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan hasil (warna) yang terbaik. Tentang mengapa dilakukan pada malam ke-27, belum ditemukan deskripsi yang komprehensif. Tetapi ketika ditanyakan mengapa sampai ada kebiasaan.

Kuku tampak merah

       Hepatirangga pada masyarakat Wakatobi, maka munculah cerita asal muasal tradisi tersebut. Diceritakan bahwa, pada zaman dahulu, ada salah satu keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Hidupnya sangat sederhana, serba kekurangan, tetapi sangat taat dalam agama. Selama ramadhan, mereka istiqomah melaksanakan ibadah puasa serta ibadah-ibadah lainnya. Menjelang lebaran, para tetangga sedang sibuk membuat kue dan membeli baju baru untuk lebaran. Menyaksikan hal tersebut anak semata wayang mereka, kembali ke rumah dan berjumpa ayahnya. Setelah bertemu, sang anak bertanya kepada ayahnya, kapan akan dibelikan baju lebaran, sang ayah lalu menjanjikan kepada anak untuk memberikan sesuatu yang “istimewa” sebagai hadiahnya di hari lebaran karena telah melakukan puasa sebulan penuh. Tiga malam sebelum lebaran, ayahnya mengambil daun pacar kuku di kebun, dan ketika malam tiba, sang anak di hepatirangga oleh ibunya sebelum tidur. Ketika bangun pagi dan membuka semua bungkusan jari-jari tangan dan kakinya, disaksikanlah warna merah jingga disemua jarinya. Sang anak senang kegirangan, sampai ketika lebaran, disaat teman-temannya menggunakan baju baru, dia hanya menggunakan pakaian yang biasa dikenakan setiap harinya. Tetapi, yang justru dikerumuni oleh orang banyak adalah “si miskin”, karena hiasan yang ada disetiap jarinya. Hepatirangga kini menjadi tradisi, kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun.

Proses pembungkusan

Hasil Hepatirangga
Picture by : Mudmaina Kasman


     Cerita tentang malam Laylat Al-Qadrditemukan dalam Surah Al-Qadr, surah yang ke-97 menurut urutannya di dalam mushaf Al-Qur’an. Ia ditempatkan sesudah Surah Al-Iqra’. Para ulama Al-Qur’an menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya Surah Al-Iqra’. Bahkan sebagian diantara mereka menyatakan bahwa Surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah, sedangkan surah Al-Iqra’ turun ketika masih di Makkah. Sehingga rentan waktu turunnya kedua surah tersebut sangat jauh. Penempatan dan menurutan Surah dalam Al-Qur’an dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan. Kalau Surah Iqra’, Nabi Muhammad SAW diperintahkan (demikian pula kaum muslimin) untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Qur’an, maka wajarlah kalau surah sesudahnya, yakni Surah Al-Qadr berbicara tentang turunnya Al-Qur’an dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam diturunkannya Al-Qur'an (Quraish Shihab; 2007, 486).  
      Malam turunnya Al-Qur’an diistilahkan dengan malam Laylat Al-Qadr. Dalam Surah Al-Qadr ayat 1-5 dijelaskan bahwa; “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar”. Oleh karena posisinya yang sangat istimewa, yaitu setara dengan seribu bulan, maka seluruh umat muslim begitu berkeinginan untuk berjumpa dengan malam Laylatul Qadr. Kaum muslimin berkeyakinan bahwa, Laylatul Qadr hanya ada satu malam dalam bulan ramadhan. Hadirnya tidak menentu, tetapi dipahami oleh sebagian kalangan bahwa malam tersebut hadir pada malam-malam ganjil setelah hari ke-10 puasa.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ABOUT ME

                 SITI HALMIA Than you ask me about it. Well, I will tell about myself. I was born around 1997. Hmmm roughly how old am I now? Well I was born in Wakatobi district, southeast sulawesi. I am big in the coastal areas, the days with the sea? Of course I am used to the smell of the sea, even my world almost with the ocean yaah.. although I live only 15 meters from the coast. I'm a student who manages and learns about tourism, of course I'm a student of Tourism and tourism jurist at the beloved campus of  Tourism Polytechnic of Makassar. A little story initially I was one of the thousands of people who oppose the existence of tourism. But why am I in the tourism department? The reason for it turned out to be behind the selfishness I like to walk, enjoy the scenery and of course like to imagine. Obviously my course learned all that.       So this blog is the way I am colle...

PLANNING DESTINATION WAKATOBI “THE CONCEPT OF LOCAL COMMUNITY-BASED TOURISM”

 By Siti Halmia Manajemen Kepariwisataan Politeknik Pariwisata Makassar PLANNING DESTINATION WAKATOBI “THE CONCEPT OF LOCAL COMMUNITY-BASED TOURISM” In essence, planning is determining a primary goal along with ways to determine the purpose. So in Tourism planning is needed to develop a tourist attraction. Because in tourism planning can not be separated from all aspects related to tourism, thus the tourism planning covers all tourism-related networks are diantarnya are: 1. Among the government, (vertically or horizontally). 2. The tourism business. 3. The general public. So planning tourism destinations will I take is Wakatobi. sperti, we know Wakatobi is a district made up of four islands. as the name suggests, namely, Wangi-scented, Kaledupa, Tomia, and Binongko. Wakatobi is very well known by the Wakatobi National Park, which has underwater beauty. However, not only the beauty of the underwater course, Wakatobi also has some cul...